Rabu, 04 Januari 2012

Kemandirian Sbg Kebutuhan Psikologis Pada Remaja

Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan perkembangan selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari ketergantungannya pada orangtua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga disebut berdiri diatas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu tentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek fisik.
Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis sang remaja di masa mendatang. Ditengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam terhadap orangtua karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian. Ruang konseling di website ini banyak dipenuhi oleh kebingungan-kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja karena banyak sekali aspek kehidupan mereka yang masih diatur oleh orangtua, meski banyak diantara mereka yang sudah berusia lebih dari 17 tahun. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemilihan jurusan/fakultas ketika masuk sekolah/Perguruan Tinggi. Dalam hal ini masih banyak ditemui orangtua yang sangat ngotot untuk memasukkan putra/putrinya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut. Akibatnya remaja tersebut tidak memiliki motivasi belajar, berkehilangan gairah untuk sekolah dan tidak jarang justru berakhir dengan Drop Out dari sekolah tersebut.
Mencermati kenyataan tersebut, peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian seorang.  Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan  demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri. 
Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982), meliputi "perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang." Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian: 
  • Suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya,
  • Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
  • Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya, 
  • Bertanggungjawab tetrhadap apa yang dilakukannya
Robert Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
  • Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
  • Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua.
  • Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
  • Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap.
Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai "penguat"untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (1985) bahwa : "kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain." Dengan otonomi tersebut seorang remaja diharapkan akan lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Proses Perkembangan Kemandirian
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugas-tugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak.

Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya. Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejakdini akan dapat dihayati dan akan semakin berkembang menuju kesempurnaan. Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak. Contoh: Untuk anak-anak usia 3 - 4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dll. Sementara untuk anak remaja berikan kebebasan misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya, atau memberikan kesempatan pada remaja untuk memutuskan sendiri jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah jika remaja tersebut keluar malam bersama temannya (tentu saja orangtua perlu mendengarkan argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut sehubungan dengan keputusannya).
Dengan memberikan latihan-latihan tersebut (tentu saja harus ada unsur pengawasan dari orangtua untuk memastikan bahwa latihan tersebut benar-benar efektif), diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan anak untuk berfikir  secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dan dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.
Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Remaja
Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para  ahli perkembangan yang menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat  keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson(dalam Hurlock,1992) yang menamakan proses tersebut sebagai "proses mencari identitas ego", atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping ingin tahu tentang dirinya sendiri.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja  belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan angota keluarganya. Ini dilakukan  remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya. 
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri sering kali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Dalam contoh yang disebutkan diatas, remaja mengalami dilema yang sangat  besar antara mengikuti kehendak orangtua atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia mengikuti kehendak orangtua maka dari segi ekonomi (biaya sekolah) remaja akan terjamin karena orangtua pasti akan membantu sepenuhnya, sebaliknya jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua bisa jadi orangtuanya tidak mau membiayai sekolahnya.
Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan yang ambivalensi dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik pada diri sendiri remaja. Konflik ini akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang remaja menjadi frustrasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orangtuanya atau orang lain di sekitarnya.Frustrasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain dan dapat membahayakan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan remaja tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan kehidupan psikologisnya. Oleh karena itu, pemahaman orangtua terhadap kebutuhan psikologis remaja untuk mandiri sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan titik tengah penyelesaian konflik-konflik yang dihadapi remaja.
Bagaimana Orang Tua Menyikapi
Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Di dalam keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian, maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian amatlah krusial. Meski dunia pendidikan (sekolah) juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, keluarga tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. 
Bagaimana orangtua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian seorang remaja, berikut ini terdapat beberapa saran yang layak Bapak/Ibu pertimbangkan: 
  1. Komunikasi. Berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi disii harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi orangtua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Kebingungan seperti yang disebutkan diatas mungkin tidak perlu terjadi jika ada komunikasi antara remaja dengan orangtuanya. Komunikasi disini tidak berarti harus dilakukan secara formal, tetapi bisa saja dilakukan sambil makan bersama atau selagi berlibur sekeluarga.
  2. Kesempatan. Orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak remajanya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang telah diambilnya. Biarkan remaja tersebut mengusahakan sendiri apa yang diperlukannya dan biarkan juga ia mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Dalam hal ini orangtua hanya bertindak sebagai pengamat dan hanya boleh melakukan intervensi jika tindakan sang remaja dianggap dapat membahayakan dirinya dan orang lain.
  3. Tanggungjawab. Bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggungjawab (betapapun sakitnya) remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampak-dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Dalam banyak kasus masih banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini. Sebagai contoh: dalam kasus remaja yang ditahan oleh pihak berwajib karena terlibat tawuran, tidak jarang dijumpai justru orangtua lah yang berjuang keras dengan segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan, sehingga anak tidak pernah memproleh kesempatan untuk bertanggungjawab atas perilaku yang diperbuatnya (bahkan tidak sempat melewati pemeriksaan intensif pihak berwajib). Pada kondisi demikian maka remaja tentu saja tidak takut untuk berbuat salah, sebab ia tahu orangtuanya pasti akan menebus kesalahannya. Kalau begini terus, kapan dong anak bisa bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan mampu mandiri? 
  4. Konsistensi. Konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja dan sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua yang konsisten akan memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri dan dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya.
Mungkin masih terdapat banyak cara lain yang patut dipertimbangkan dalam meningkatkan kemandirian sang remaja agar menjadi pribadi yang utuh dan dewasa. Satu hal yang perlu kita ingat adalah: "Jika kita dapat mengasuh dan membimbing anak untuk bisa mandiri melalui keluarga, mengapa kita tidak melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya mulai dari sekarang". Negara ini sudah penuh dengan berbagai ketergantungan pada pihak lain, maka jangan lagi kita membangun generasi baru yang juga penuh dengan ketergantungan dan menjadi beban keluarga. Semoga.

Minggu, 04 Desember 2011

PSIKOLOGI

Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.
Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ψυχή" (Psychē yang berarti jiwa) dan "-λογία" (-logia yang artinya ilmu) sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa

Sejarah Psikologi

Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasikan laboratoriumnya tahun 1879, yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu. pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno.Psikologi sendiri sebenarnya telah dikenal sejak jaman Aristoteles sebagai ilmu jiwa, yaitu ilmu untuk kekuatan hidup ( levens beginsel). Aristoteles memandang ilmu jiwa sebagai ilmu yang mempelajari gejala - gejala kehidupan. Jiwa adalah unsur kehidupan (Anima), karena itu tiap - tiap makhluk hidup mempunyai jiwa. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelektual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi